KAIDAH
DAN KEADAAN DARURAT
Tak ada sejumput
keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah
ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur
setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak
heran jika seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama
ini, hal itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya
kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.
Oleh sebab itu,
cendekia muslim mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita
mengetahui sekian banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih
praktis. Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid
Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah
mempelajari berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid Al-Kuliyyah
Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah,
pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu cabang penerapan dari
kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya “dalam
kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.
Kedudukan
Kaidah
Ulama bersilang
pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama
semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar
yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan
tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di
atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu
at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum
hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.
Dalil
Kaidah
Sebagaimana kaidah
fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran. Di
antaranya:
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan,
kecuali yang terpaksa kalian makan.” ( QS. Al-An’am 119 )
Allah Ta’ala juga
berfirman,
“Siapa
yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan
tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah 173)
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip
dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang
terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,
“Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar,
bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [1]
Di antara landasan
kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil
hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali
bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab,
“Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati
syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?”
Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.” (HR. Bukhari: 6888, dan Muslim:
2158)
Darurat secara bahasa
bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud
darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut
maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi
kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur
yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[2]
Sedangkan mahzhurat
adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat
mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan
yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan
hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir
semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[3]
Kesimpulannya, hal-hal
yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak,
yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak
melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau
dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat
seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Penerapan
Kaidah [4]
Di antara penerapan
kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut: Seorang dokter
boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa
dilakukan kecuali dengannya. Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi
jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat
sangat. Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa. Bolehnya
berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya. Bolehnya
membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri,
keluarga, dan hartanya. Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang
berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia
dalam keadaan mampu.
Syarat
Darurat[5]
Namun perlu
diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang
sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam
kaidah ini. Di antara lain:
1. Darurat tersebut
benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata
praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang
musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang.
Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan
alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan
hanya bersandar pada prasangka semata.
2. Tidak ada pilihan
lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang
musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar
yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala
bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai
seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa
membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.
3. Kondisi darurat
tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan
kehilangan nyawa atau anggota badannya.
4. Keharaman yang ia
lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam
keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai
atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu
dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika
ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka
diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
5. Tidak melakukannya
dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan
mudarat.
Seorang dokter ketika
mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh
baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat
yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain
sebagainya.
Sama halnya dengan
orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai
sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh
mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang
dialaminya.
Pengecualian Kaidah [6]
Di antara pengecualian
kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain,
atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.
Semoga tulisan
sederhana ini bermanfaat.
Sumber :
Roni Nursuysmansyah,
dalam website, click here
[1] Al-Utsaimin,
Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn
al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2. Halaman 76
[2] Al-Bassam,
Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar
al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Halaman 80
[3] Lihat
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma
Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 256
[4] Lihat
Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id
Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4.
Halaman 233, Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa
Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan
ke-1. Jilid ke-1. Halaman 277
[5] Lihat
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma
Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 250-251
[6] Lihat
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma
Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 262, Az-Zuhaili,
Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib
al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman
279