Minggu, 07 Februari 2016

KAIDAH DAN KEADAAN DARURAT

KAIDAH DAN KEADAAN DARURAT

Tak ada sejumput keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak heran jika seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.

Oleh sebab itu, cendekia muslim mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis. Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah mempelajari berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid Al-Kuliyyah Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu cabang penerapan dari kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.

Kedudukan Kaidah

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

Dalil Kaidah

Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran. Di antaranya:

Allah Ta’ala berfirman,
 “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.” ( QS. Al-An’am 119 )

Allah Ta’ala juga berfirman,
 “Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah 173)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,

Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]


Di antara landasan kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.” (HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158)

Makna Kaidah

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[2]

Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[3]

Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.

Penerapan Kaidah [4]

Di antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut: Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya. Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat. Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa. Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya. Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya. Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia dalam keadaan mampu.

Syarat Darurat[5]

Namun perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini. Di antara lain:

1. Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.

2. Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.

3. Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.

4. Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.

5. Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.

Pengecualian Kaidah [6]
Di antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Sumber :
Roni Nursuysmansyah, dalam website, click here



[1] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2. Halaman 76
[2] Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 80
[3] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 256
[4] Lihat Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4. Halaman 233, Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 277
[5] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 250-251
[6] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 262, Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 279

Kamis, 18 Juni 2015

HAL YANG PERLU DIKETAHUI TENTANG SAHUR

Ditulis oleh:
Suyogi Imam Fauzi[1]
FOSHI UKI FH

Assalamualaikum Wr.Wb
Sahur berasal dari kata sahar, yang artinya akhir malam, atau waktu menjelang subuh. Lawan katanya ialah ashil, akhir siang.
Sahur itu Berkah.[2]
Makan sahurlah kalian, karena dalam sahur terdapat berkah.” (HR. Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani menyebutkan dalam Kitab Fathul baari bahwa yang dimaksud dengan berkah disini adalah: pertama: pahala dari Allah. Kedua: menambah kekuatan tubuh dan semangat dalam menjalani puasa. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan berkah disini adalah bangun pagi dan berdoa saat makan sahur.
Ibnu Daqiq Al-’iid mengatakan: “Sahur bisa dikategorikan sebagai Amalan Akhirat. Sebab, melaksanakan ibadah sunnah jelas mendapatkan pahala dan tambahanya. Bisa juga menjadi Amalan Duniawi. Sebab, ia menguatkan tubuh dan menghindarkan orang yang berpuasa dari penyakit yang membahayakan dirinya
Lalu bagaimana kita dapat dikatakan sudah sahur ? apakah harus makan nasi dan minumnya teh botol soros ? atau apa ? .
Sahur sah dengan mengonsumsi porsi minimal dari makanan dan minuman. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menyebutkan :
Sahur itu mengandung berkah. Maka, janganlah salah seorang diantara kalian meninggalkanya, walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya para Malaikat membaca shalawat (mendoakan) kepada orang-orang yang melaksanakan sahur.”
Jadi, kita jangan meninggalkan sahur ya karna sahur itu :
Sesungguhnya makan sahur itu ada barokah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan” [Riwayat Nasa’i (4/145) dan Ahmad (5/270) dengan sanad Shahih].


Sahur itu Waktu yang tepat untuk Berdoa
Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)
Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kitaSubhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758).

Batas Waktu Sahur
Kapan batas waktu dimulainya pelaksanaan ibadah puasa untuk menahan makan dan minum? Ada beberapa perbedaan pandangan mengenai hal itu.
Ada dua pendapat dari beberapa kalangan, Pertama imsak merupakan batas waktu dimulainya seorang muslim untuk menahan makan-minum dan segala hal yang dapat membatalkan ibadah puasa. Kedua, Ada juga yang berpandangan Imsak merupakan hanya jeda waktu antara batas menahan makan-minum dan sebagainya dengan waktu Subuh.
“…Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” [Al-Baqarah ayat 187]
Batas waktu sahur tidak ditentukan dengan ukuran jam, tetapi dengan terbitnya fajar. Bahkan Imam Bukhari membuat Bab “Sabda Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam, ”Janganlah sekali-kali Adzan Bilal Mencegah Kalian dari Makan Sahur” .Beliau membawakan hadits dari Ubaidillah bin Ismail menceritakan kepada kami dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dan Al-Qasim bin Muhammad (meriwayatkan) dari Aisyah ra. “Sesungguhnya Bilal biasa adzan di malam hari, maka Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena sesungguhnya dia tidak adzan (melainkan) hingga fajar terbit.”[3]
Lalu bagaimana ketika pas saat kita makan dan minum terdengar suara adzan ?
Diriwayatkan dari beberapa jalan dari Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) makan janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya). (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan di-shahih-kan olehnya dan oleh Adz-Dzahabi)
     Kenapa dalam waktu imsyak dan shubuh itu berdurasi 10/15 menit ?
Hal tersebut didasari pada hadis ini yang menunjukkan, jarak atau interval waktu antara sahurnya dan adzan shubuh. Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami punberdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”. Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.
Inilah yang dipahami oleh para ulama, sehingga menetapkan sunnah berimsak sekira waktu yang dibutuhkan untuk pembaca 50 ayat Al Quran tersebut yang diperkirakan setara dengan 10-15 menit.
Jadi, Jangan lewatkan sahur walaupun itu hanya meneguk segelas air putih dan jangan lupa untuk berdoa pada waktu sahur. Imsak bukanlah sebagai batas seseorang berhenti untuk makan dan minum pada saat sahur. Batas makan dan minum pada saat sahur adalah adzan dimana dimulainya waktu (pelaksanaan) shalat Shubuh. Ketika seseorang sedang makan sahur, kemudian dia mendengar adzan untuk dimulainya shalat Shubuh, hendaklah ia tetap tenang dan menghabiskan sisa hajatnya (makannya) dan puasanya tetap sah (tidak batal). Imsak hendaklah hanya dijadikan sebagai peringatan bahwa waktu untuk shalat Shubuh sudah dekat bukan sebagai batas makan sahur.[4]

wallahualam bishawab…..



[1] Alhamdulillah, Penulis adalah seorang yang suka sahur dengan air putih, ya karena memang adanya itu mau bagaimana lagi.
[2] Maktabah Syamilah versi 2,8. صحيح البخاري – )ج 7 / ص 3( فتح الباري البن حجر ) ج 6 / ص 77)
[3] Fathul Baari Buku 11, hal.108
[4] Mochamad Faishal Riza, Posisi Imsak dalam Ibadah Puasa, dalam E-Artikel yang diakses pada tanggal 17 Juni 2015.

Kamis, 20 November 2014

POLIGAMI DALAM SUDUT PANDANG KOMPILASI HUKUM ISLAM



Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan). Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, sesuai dengan firman Allah swt.
وَرُبَاعَ وَثُلاثَ مَثْنَى النِّسَاءِ مِنَ لَكُمْ طَابَ مَا فَانْكِحُوالْيَتَامَى فِي تُقْسِطُوا أَلا خِفْتُمْ وَإِنْ    
تَعُولُوا أَلا أَدْنَى ذَلِكَ أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ مَا أَوْ فَوَاحِدَةً تَعْدِلُوا أَلا خِفْتُمْ فَإِنْ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya[An-Nisa : 3][1]

Kamis, 31 Juli 2014

HUKUM HUMANITER DALAM PRESPEKTIF ISLAM




Secara historis dan doctrinal Islam mengandung dan memperlihatkan nilai-nilai humanitarian atau kemanusiaan dalam berbagai aspek dan dimensinya. Namun, realitas dalam masyarakat muslim sendiri masih belum memahami realitas ini. Sehingga berimplikasi pada maraknya tindakan-tindakan yang berwujud kekerasan dan intoleransi yang terjadi di intra-muslim, antar muslim dan dengan non muslim yang kian menutupi nilai-nilai kemanusiaan atau humanitarian yang di junjung tingi nilai-nilainya dalam Islam. 

Jumat, 27 Juni 2014

PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH (HISAB, RUKYAT, DAN HILAL)

I.        PENGERTIAN
A.  HILAL
Hilal adalah penampakan bulan yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi/ijtimak. Bulan awal ini (bulan sabit tentunya) akan tampak di ufuk barat (maghrib) saat matahari terbenam.Ijtimak/konjungsi adalah peristiwa yang terjadi saat jarak sudut (elongasi) suatu benda dengan benda lainnya sama dengan nol derajat.Dalam pendekatan astronomi, konjungsi merupakan peristiwa saat matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. Pada saat tertentu, konjungsi ini dapat menyebabkan terjadinya gerhana matahari. Hilal merupakan kriteria suatu awal bulan. Seperti kita ketahui, dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan hilal/bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30 hari.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوْاْ الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُواْ الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji…” [Al Baqoroh(2):189]

Minggu, 22 Juni 2014

GAIRAH INTELEKTUAL DAN CAHAYA PENCERAHAN

Umat Islam di Indonesia, khususnya kaum muda, mulai lupa betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku "Al Qur'an. Sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa, dari situlah peradaban Islam mulai bergulir dengan pesatnya, terutama pada ranah ilmu pengetahuan. Dari cahaya teks itu, juga para ulama dahulu berjuang menegakan kebenaran pengetahuan, melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatik, sikap apologetis, atau filopsisme yang egois seperti sekarang.

Oleh karena itu, buku dan Ilmu pengetahuan tidaklah terpisahkan satu sama lain. Buku menjadi sarana dalam mentransformasikan ide-ide atau gagasan-gagasan pada era dahulu dan di jaga gagasan tersebut dan disampaikan pada generasi sekarang. Sehingga, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan mewujudkan peradaban manusia yang lebih maju lagi, terutama peradaban yang di dasarkan pada ranah ilmu pengetahuan.